Saturday, April 23, 2011

Parasitisme ilmu

Pengembara lautbiru yang dihormati, untuk entri pada kali ini saya petik mutiara ilmu dari sebuah website :
http://salafiyunpad.wordpress.com/2007/11/03/titian-dalam-menuntut-ilmu-bagian-kedua-habis/
berkisarkan tentang  gejala parasitisme yang terdapat pada golongan yang menuntut ilmu. Gejala ini sangat merbahaya sehingga boleh menjerumuskan seseorang penuntut ilmu itu ke dalam api neraka. Ambillah pengajaran dari mutiara ilmu pada kali ini untuk sama-sama kita perbaiki diri dan amal ibadah kita.InsyaAllah.


Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat.

Pertama: Berpegang dengan hawa nafsu setelah datangnya ilmu.

Di antara sebab-sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu ialah tidak mengamalkan ilmu itu sendiri, serta masih mendahulukan emosional hawa nafsu, bentuk-bentuk mendahulukan hawa nafsu itu sendiri beragam, seperti berpegang kepada bukan wahyu ilahi, adakalanya kepada akal semata, atau kepada hawa nafsu, atau kepada mimpi, atau kepada pendapat tuan guru dan pemimpin suatu kelompok tertentu (ta’ashub dan taqlid buta), sekalipun hal itu nyata-nyata bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah maupun dakwah dan muamalah.

Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Al Quran tentang ulama-ulama orang yahudi, mereka memiliki ilmu, tetapi ilmu tersebut tidak memberi manfaat kepada diri mereka dalam mengambil kebenaran. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah,

“Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran yang tebal”. (QS. Al Jum’ah: 5).

Allah mencela orang-orang yahudi karena mereka tidak mengamalkan Taurat yang merupakan ilmu yang dibawa nabi Musa ‘alaihi salam kepada mereka. Di antaranya adalah mereka tidak mau beriman dengan kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang sudah diberitakan tentang kedatangannya dalam kitab mereka Taurat, bahkan mereka mengenal ciri-cirinya lebih dari mengenal ciri anak-anak mereka sendiri, bahkan mereka tidak cukup sampai di situ tetapi mereka sesat lebih jauh lagi dengan mengubah isi Taurat itu sendiri sesuai dengan kemauan dan kehendak mereka sendiri. Contoh lain dalam Al Quran tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya, terdapat dalam firman Allah;

“Dan bacakanlah kepada mereka tentang berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tetang isi Alkitab), kemudian ia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu syaitan mengikutinya (sampai ia tersesat), maka ia terjerumus menjadi orang-orang yang sesat. Dan jika kami berkehendak, sungguh kami angkat (derajat)nya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya (yang hina)”. (QS. Al A’raaf: 176,175).

Dalam ayat ini Allah mengisahkan seseorang yang telah diberi ilmu tentang kebenaran yang harus diikutinya, tetapi orang tersebut berpaling dari mengikuti ilmu yang benar tersebut, saat syaitan melihatnya dalam hal demikian, maka syaitan seketika itu pun ikut mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran itu, lalu syaitan semakin menyesatkannya, akhirnya ia terjerumus ke dalam kesesatan yang amat jauh.
Padahal kalau ia mahu untuk mengamalkan ilmu dan mengikuti kebenaran yang telah dimilikinya, sesungguhnya Allah akan mengangkat darjatnya dengan kebenaran tersebut, tetapi Allah menghinakannya kerana ia terlebih dulu telah menghinakan kebenaran dan membuangnya di belakang punggungnya, ia lebih mengutamakan kesenangan duniawi dari kesenangan ukhrawi, ia lebih suka mengikuti hawa nafsunya yang sesat lagi hina dari mengikuti hidayah yang berkilau bagaikan cahaya.

Hal ini pulalah yang menimpa sebagian peribadi dan kelompok dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada pendakwah, terlebih khusus sebagian saudara kita yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk menuntut ilmu di Universiti Islam yang tegak di atas Al Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mereka masih mendahulukan hawa nafsunya dan mendahulukan kepentingan duniawi, atau kepentingan kelompoknya di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya.

Betapa banyaknya ayat Al Quran mencegah kita dari mengikuti hawa nafsu setelah jelasnya kebenaran dan setelah datangnya ilmu, karena hal inilah yang menyebabkan melencengnya ahlul kitab dari mengikuti kebenaran. Di antaranya firman Allah yang mulia:

“Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya, dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (niscaya) Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu”. (QS. Al Baqarah: 120).

Maka di awal tahun ajaran baru ini penulis ingin mengingatkan diri serta para ikhwan seluruhnya baik yang baru datang maupun para ikhwan yang lama, mari kita bersama-sama untuk kembali mengintropeksi diri kita masing-masing dalam hal yang satu ini yaitu jangan kita sampai mendahulukan kepentingan duniawi di atas kepentingan ukhrawi.

Di antara keutamaan ilmu salaf adalah dekatnya buah ilmu mereka, ertinya ilmu mereka tersebut membuahkan amal soleh, seperti bersikap lembut terhadap sesama makhluk, mencintai kebenaran untuk seluruh makhluk, bukannya bahagia dengan kesalahan orang lain, sedikit berbicara banyak beramal, menimbulkan kekhusyukan dalam beribadah, menimbulkan rasa takut kepada Allah.

Salaf dalam menuntut ilmu lebih banyak mementing buah dari pada mengonggok batang, ibaratkan orang yang berkebun yang penting adalah banyaknya hasil perkebunan, bukan luas dan banyak bibit yang semai, untuk apa banyak pohon yang ditanam tapi tidak satu pun yang menghasilkan buah, dan akan lebih baik lagi orang yang punya perkebunan luas dan memiliki hasil panen yang banyak.

Disebutkan dalam pepatah arab: “Ilmu tanpa amal bagai pohon yang tidak berbuah”. Dalam pepatah lain: “Petiklah ilmu dengan amal, jika tidak ia akan pergi”. Diantara buah ilmu adalah membuahkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmanNya mulia:

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28).

Berkata sebagian salaf, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah)”. Berkata lagi sebagian yang lain: “Barang siapa yang takut kepada Allah maka ia adalah seorang ‘alim, dan barang siapa yang melakukan maksiat kepada Allah maka ia adalah seorang jahil”.

Di antara buah ilmu salaf adalah memberikan kekhusukan kepada mereka dalam beribadah.Ilmu yang bermanfaat adalah memperkenalkan pemiliknya dengan robbnya dan menunjukkan jalan kepada robbnya sehingga ia mengenalNya, mengesakanNya dalam segala bentuk ibadahnya, merasa senang dan dekat denganNya, ia menyembah robbnya seakan-akan ia melihatNya.

Oleh sebab itu kebanyakan para sahabat berkata: “Sesungguhnya yang pertama sekali diangkat dari tengah-tengah manusia adalah rasa khusuk dalam ibadah. Berkata Ibnu Mas’ud: “kebanyakan orang membaca Al Quran tidak melewati tenggorokannya, dan tetapi jikalau tertancap dalam hati, ia akan lengket dan bermamfaat”. Berkata Hasan Al Bashri: “ilmu itu ada dua macam; ilmu di atas lidah, itu adalah hujjah Allah di atas anak Adam, ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat”.

Oleh karena kebanyakan salaf berkata, ”ulama itu ada tiga golongan; pertama: ‘alim dengan Allah, ‘alim dengan perintah Allah, kedua: ‘alim dengan Allah tetapi tidak ‘alim dengan perintah Allah, ketiga ‘alim dengan perintah Allah tetapi tidak ‘alim dengan Allah”. (Fadhlu ilmu salaf: 50).

Kedua: Suka berdebat dan berjidal.

Telah terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal,
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az Zukhruf: 58)”. (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shohih).

Telah berkata sebahagian salaf: “Apabila Allah mengehendaki suatu kebaikan untuk seorang hamba, Allah membukakan untuknya pintu amal, dan menutup darinya pintu jidal, dan apabila Allah mengehendaki kejelekan untuk seorang hamba, Allah menutup untuknya pintu amal dan membuka baginya pintu jidal”.

Berkata Imam Malik: “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 35). Diantara sifat salaf adalah sedikit berbicara, diamnya salaf dari berbantah-bantahan dan berjidal bukannya karena mereka itu lemah dan bodoh, tetapi mereka diam di atas penuh ilmu dan penuh takut kepada Allah.

Adapun banyak pembicaraan dan komentar dari orang-orang setelah mereka bukan berarti mereka lebih berilmu dari salaf tetapi disebabkan karena mereka suka banyak bicara dan kurangnya sikap wara’. Sebagaimana yang dikatakan Hasan Al Bashri tatkala ia menyaksikan orang saling berdebat, “mereka adalah kaum yang malas beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka ngobrol”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 36).

Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak ulamanya sedikit para khatibnya, akan datang sesudah kalian masa yang banyak khatibnya tetapi sedikit ulamanya, barang siapa yang luas ilmunya dan sedikit omongannya, maka ia adalah terpuji, dan barang siapa yang sebaliknya maka ia adalah tercela”.

Ibnu rajab berkata; “Kebanyakan generasi sekarang mengira bahwa banyak bicara, suka berjidal, suka berbantah dalam masalah agama, adalah lebih tahu dari orang yang tidak seperti demikian, inilah suatu kebodohan, coba kita lihat bagaimana para sahabat sangat sedikit perkataan mereka bila dibandingkan dengan perkataan tabi’in, sedangkan para sahabat jauh lebih berilmu bila dibandingkan dengan tabi’in, begitu juga halnya tabi’ut tabi’iin dengan tabi’in, ilmu bukanlah diukur dengan banyak riwayat dan tidak pula diukur dengan banyak omongan tetapi ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah ke dalam hati seseorang yang menjadikannya paham tentang kebenaran, dan mampu membedakan antara yang hak dengan yang batil, serta mengungkapkannya dengan perkataan yang simpel dan padat serta tepat dalam menyampaikan kepada apa yang di maksud”. (Ibnu Rajab, Fahdul Ilmi Salaf: 37-38).

Maka perlu untuk diketahui bahwa sesungguhnya bukanlah setiap orang yang luas pembicaraannya, pintar berbicara lebih berilmu dari orang yang tidak demikian halnya, sungguh di akhir zaman ini kita telah mendapat cobaan dari sebahagian manusia yang berpandangan demikian.

Ketiga: Mendahulukan kepentingan duniawi diatas kepentingan ukhrawi

Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab beliau (Fadhl Ilmi Salaf hal: 52-54) beberapa bentuk sikap orang yang memburu kesenangan dunia dengan memobilisasi ukhrawi, adakalanya mengaku memiliki ilmu tentang keagamaan, tetapi tujuannya dibalik itu adalah ingin mencari kududukan di tengah-tengah manusia, baik di kalangan penguasa atau lainnya, atau untuk mencari pengikut yang banyak dan berbangga dengannya, seperti mengaku sebagai wali dan sebagainya.

Di antara ciri-cirinya lagi adalah tidak mau tunduk kepada kebenaran, dan memiliki kesombongan terhadap orang yang menegakkan kebenaran, apalagi bila orang tersebut tidak terpandang di mata manusia, kemudian tetap berpegang dengan kebatilan karena takut terbukanya kedok kesesatan dan kebodohannya, saat tersebarnya kebenaran di tengah-tengah manusia.

Boleh jadi kadangkala ia mencela dirinya sendiri, agar dianggap sebagai orang yang memiliki sifat tawadhu’, supaya orang lain memujinya. Dalam kenyataan sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang yang binasa dan celaka dalam berbagai lembah yang hina, demi mencari kesenangan duniawi dengan memperdagangkan urusan ukhrawi, ada yang binasa di lembah maksiat, bid’ah, popularitas, atau lembah partai politik, dan lain-lain sebagainya. Allah telah berfirman dalam kitab suciNya:

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya kami akan memberikan balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun didalamnya, mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan di akhirat kelak kecuali neraka, dan hilanglah segala apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah segala apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud: 15,16).
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhialhu ‘anhu, bahwa ia berkata,
“Kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh keduniaan mereka, maka mereka dihinakan (di hadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barang siapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiratnya niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan di lembah manapun ia binasa”. (HR. Ibnu Majah no: 257).

Imam Asy Syaukany mengulas dalam kitanya “Adabuthalab wal muntahal’arib”, diantara sebab yang membuat seseorang menjauhi kebenaran, dan menyembunyikan dalil-dalil kebenaran serta tidak menerangkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk menerangkannya adalah kecintaan kepada kehormatan dan harta. 

Banyak fenomena yang kita saksikan di tengah para tholabul ‘ilmi, yang tidak mungkin kita kupas dalam bahasan yang ringkas ini, tetapi orang yang arif dan bijak dengan isyarat sudah cukup untuk mengingatkannya. Wallahu a’alam bishawaab.

No comments:

Post a Comment